Muawiyah bin Abu Sufyan
Muawiyah bin Abu Sufyan (602 –
680;
umur 77–78 tahun; bahasa Arab: معاوية بن أبي سفيان) bergelar Muawiyah I adalah khalifah pertama dari Bani Umayyah dan juru tulis Nabi Muhammad.
Muawiyah
diakui oleh kalangan Sunni sebagai salah seorang Sahabat Nabi, walaupun keislamannya baru dilakukan setelah Mekkah
ditaklukkan. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada
7 H. Kalangan Syi'ah sampai saat ini tidak mengakui Muawiyah sebagai khalifah
dan Sahabat Nabi, karena dianggap telah menyimpang setelah
meninggalnya Rasulullah SAW. Ia diakui sebagai khalifah sejak Hasan bin Ali, yang selama beberapa bulan menggantikan ayahnya
sebagai khalifah, berbai'at padanya. Dia menjabat sebagai khalifah mulai tahun 661
(umur 58–59 tahun) sampai dengan 680.
Terjadinya Perang Shiffin makin
memperkokoh posisi Muawiyah dan melemahkan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib,
walaupun secara militer ia dapat dikalahkan. Hal ini adalah karena keunggulan
saat berdiplomasi antara Amru bin Ash (kubu Muawiyah) dengan Abu Musa Al Asy'ari (kubu
Ali) yang terjadi di akhir peperangan tersebut. Seperti halnya Amru bin Ash,
Muawiyah adalah seorang administrator dan negarawan ulung. Muawiyah adalah
sahabat yang kontroversial dan tindakannya sering disalahartikan.
Pendapat yang terkenal mengatakan bahwa Muawiyah masuk Islam pada masa
Penaklukkan Makkah. Namun, Muawiyah sendiri mengatakan bahwa, "aku masuk
Islam dalam peristiwa Umrah Qadha
tahun 7 H, tetapi aku menyembunyikannya dari bapakku". Hal itu dapat
dimengerti karena situasi saat itu masih mencekam. Selain itu posisi Muawiyah
cukup sulit, mengingat Abu Sufyan pada waktu itu masih kafir,
bahkan Abu Sufyan adalah pemimpin Quraisy dalam melawan Nabi Muhammad. Muawiyah juga ikut perang Hunain dan Nabi Muhammad memberinya seratus unta dan 40 uqiyah emas dari
harta rampasan perang Hunain.
Zaman Abu Bakar adalah zaman
kritis di mana benih kemurtadan mulai merebak. Abu Bakar bertindak tegas dengan
memerangi mereka. Muawiyah ikut salah satu pertempuran itu, yakni Perang Yamamah,
perang melawan Musailamah si nabi palsu.
Setelah pemberontakan internal selesai, kaum Muslimin mengalihkan pandangan
mereka ke luar, yakni pembebasan negeri di sekitar mereka dari pemimpin zalim.
Abu Bakar mengirim pasukan ke banyak tempat, salah satunya adalah Syam.
Dalam kontingen pasukan Syam, ada salah satu pasukan yang dikomandani oleh
Muawiyah.
Sebagaimana Umar, Utsman bin Affan tidak
memakzulkan Muawiyah. Bahkan, Utsman terus memberi Muawiyah kekuasaan sehingga
Muawiyah menjadi Gubernur daerah mayoritas Syam.
Ia menguasai daerah yang sangat luas dan telah menjadi gubernur Utsman yang
paling berpengaruh. Di awal pemerintahan Utsman, di Syam ada beberapa gubernur,
yakni Muawiyah bin Abu Sufyan, Umair bin Saad al-Anshari (Himsh),
dan Alqamah bin Khalid bin Walid (Palestina). Namun, karena Umair sering sakit-sakitan, ia
mengundurkan diri dari jabatannya. Utsman pun memberikan Himsh
kepada Muawiyah. Setelah itu Alqamah wafat, Utsman pun memberikan Palestina
kepada Muawiyah. Hal ini membuat Muawiyah menjadi gubernur Syam seluruhnya.
Sampai akhir hayat Utsman, Muawiyah mengontrol daerah Syam. Pada zaman modern,
Syam meliputi Palestina, Yordania, Lebanon, dan Syria -bisa dibayangkan seluas apa daerah
kekuasaan Muawiyah.
Setelah Utsman terbunuh, para sahabat sepakat untuk
menghukum qishash pelaku pembunuhan Utsman. Namun, mereka terbagi tiga
kelompok tentang hal ini:
- Pertama, mereka harus diqishash secepatnya sebelum baiat kepada Ali. Inilah pendapat Muawiyah dan pendukungnya. Muawiyah berpendapat jika qishash ditunda, pembunuhnya akan berbaur di kehidupan sehari-hari kaum Muslimin dan mereka akan sulit dilacak. Lagipula, Muawiyah adalah wali Utsman dan di antara saudara-saudara Utsman yang lain, Muawiyah lah yang kekuatannya paling besar.
- Kedua, mereka harus diqishash tetapi setelah Ali bisa mengendalikan keadaan sehingga tenteram kembali. Jika qishash dilaksanakan sekarang juga, maka akan berakibat keadaan makin kacau. Para perusuh akan melipatgandakan tekanannya kepada kekhalifahan. Ini adalah pendapat Ali dan pendukungnya. Mayoritas sahabat Nabi menjadi pendukung Ali.
- Ketiga, uzlah (mengasingkan diri). Ada sahabat-sahabat Nabi yang tidak mau terlibat dalam permasalahan ini dan mereka pun pindah dari pusat konflik. Mereka tidak mau berperang dengan saudara sesama mukmin. Mereka adalah Abdullah bin Umar, Saad bin Abi Waqqash, dan lainnya.
Inti dari permasalahan Ali-Muawiyah adalah perbedaan cara
qishash ini. Muawiyah sendiri tidak mengklaim bahwa dirinya khalifah umat Islam
dan tidak berniat merebut kekhalifahan. Hanyasaja ia dan penduduk Syam tidak
mau baiat (sumpah setia) kepada Ali karena permasalahan
terbunuhnya Utsman tersebut. Ketika kita melihat kondisi zaman Ali lewat
kacamata abad modern, kita bisa dengan mudah menilai, tetapi bagi orang yang
hidup di zaman itu, situasi pada saat tersebut sangat pelik. Menurut mayoritas
ulama, dalam persoalan rumit itu yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat
Ali karena bagaimanapun juga perdamaian negara lebih diutamakan.
Muawiyah pernah ditanya, "Apakah kau penentang
Ali?"
Muawiyah menjawab, "Tidak demi Allah. Sesungguhnya
aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak
memegang khilafah dariku. Akan tetapi, sebagaimana yang kalian ketahui bahwa
Utsman dibunuh dalam keadaan teraniaya dan aku, sepupu Utsman, akan menuntut
darahnya. Datanglah kepada Ali dan katakan, 'serahkan para pembunuh Utsman
kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya"
Orang-orang segera menemui Ali dan mengatakan perkataan
Muawiyah, tetapi Ali tidak mengabulkannya
Menurut mayoritas ulama, sikap Kaum Muslimin dalam menyikapi konflik
Ali-Muawiyah adalah meyakini bahwa mereka semua sedang berijtihad merespon
situasi yang sangat pelik pada masa itu. Di antara mereka ada yang benar dan
mendapat dua pahala, tetapi di antara mereka ada yang salah dan mendapat satu
pahala. Kita tidak boleh membicarakan sahabat Nabi dengan perasaan benci.
in sha Allah sangat bermanfaat
BalasHapus