Abbas bin
Abdul Muthalib
Abbas
bin Abdul Muthalib adalah paman Nabi SAW, tetapi sebagaimana halnya Hamzah,
usianya hampir sebaya dengan Nabi SAW. Ia memang tidak memeluk Islam pada masa
awal seperti halnya Hamzah, namun sebagian riwayat menyebutkan ia telah memeluk
Islam sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, hanya saja ia menyembunyikan
keislamannya. Pada Fathul Makkah-lah Abbas telah diketahui pasti sebagai
pemeluk Islam.
Abbas adalah seorang yang cerdas dan
diplomatis. Walau tidak secara terang-terangan seperti Abu Thalib, ia juga
melakukan pembelaan terhadap Nabi SAW dan Islam. Di awal kelahiran Islam,
ketika Abu Dzar al Ghifari untuk pertama kalinya meneriakkan kalimat tauhid,
yakni syahadat di Masjid al Haram, dan kaum kafir Quraisy menghajarnya
habis-habisan, tak ada seorangpun yang berani membelanya. Tampillah Abbas dan
ia berkata diplomatis, "Wahai orang Quraisy, dia adalah orang dari Suku
Ghifar. Dan kalian semua adalah kaum pedagang yang selalu melewati daerah
mereka. Apa jadinya jika mereka tahu kalian telah menyiksa anggota
keluarganya??"
Karena perkataan Abbas ini, kaum kafir
Quraisy ini melepaskan Abu Dzar. Abbas terkadang menyertai Nabi SAW ketika
beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi kepada kaum pendatang yang sedang
melaksanakan haji Makkah. Puncaknya adalah pada saat terjadinya Bai'atul Aqabah
yang kedua dengan penduduk Yatsrib (Madinah), yang akhirnya menjadi tonggak
awal kemenangan Islam di jazirah Arab.
Pada salah satu malam hari tasyriq
setelah sepertiga malam yang terakhir, tujuh puluh tiga lelaki dan dua wanita
dari penduduk Madinah bertemu dengan Nabi SAW di bukit aqabah. Dalam
kesepakatan yang akan diambil oleh Nabi
SAW dan mereka ini, Abbas menunjukkan sikap pembelaan dan perlindungannya
kepada Nabi SAW walau saat itu ia belum memeluk Islam, ataupun sudah Islam
tetapi menyembunyikan keislamannya. Antara lain ia berkata, "Wahai kaum
Khazraj, sesungguhnya kalian tahu kedudukan Muhammad di antara kami, dia adalah
orang yang terhormat di tengah kaumnya
dan dilindungi di negerinya. Jika kalian memang ingin menunaikan apa yang
kalian janjikan kepadanya, dan membelanya dari orang yang memusuhinya, silakan
kalian ambil tanggung jawab tersebut, Tetapi jika kalian berfikir untuk
menyia-nyiakannya dan menelantarkan dirinya setelah keluar dari kami untuk bergabung
bersama kalian, lebih baik biarkan saja ia bersama kami. Apalagi tetangga
kalian itu adalah orang-orang Yahudi yang memang memusuhinya, aku khawatir akan
makar mereka terhadap dirinya…!!"
Kondisi yang terjadi saat itu memang
mengharuskan sikap ekstra hati-hati. Abbas telah melihat sendiri bagaimana
sikap permusuhan dan perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy atas
Risalah Islamiah yang didakwahkan Nabi SAW. Begitu juga sikap beberapa kabilah
Arab lainnya yang didakwahi beliau ketika berhaji, termasuk juga kabilah Bani
Tsaqif di Thaif. Sepertinya pilihan Allah memang jatuh pada kaum Khazraj dan
Aus dari Yatsrib untuk menjadi pilar dan markas utama perkembangan risalah baru ini ke seluruh
penjuru dunia, sehingga sikap mereka memang jauh berbeda dengan sikap
orang-orang Arab lainnya itu.
Sesungguhnyalah perkataan Abbas
tersebut cukup menyinggung perasaan orang-orang Yatsrib itu. Sejak
‘diperkenalkan’ oleh enam pemuda, disusul kemudian dengan Bai’atul Aqabah
pertama sikap mereka telah bulat untuk menerima Nabi SAW dan kaum muslimin
lainnya di negeri mereka. As'ad bin Zurarah yang merupakan salah satu tokohnya
sempat naik emosinya, tetapi Nabi SAW berkata kepadanya, "Jawablah tanpa
menimbulkan pertengkaran…."
As'ad menjelaskan sikap kaum Aus dan
Khazraj dalam masalah tersebut, kemampuan mereka dalam berperang dan kesediaan
mereka untuk berkorban demi membela Nabi SAW. Abdullah bin Amr bin Haram pun
ikut menimpali tentang tradisi mereka dalam menjaga kehormatan, menghadapi
musuh, dan lain-lainnya. Akhirnya As'ad menutup
pidato panjang mereka itu sambil menghadapkan diri pada Nabi SAW,
"Wahai Rasulullah, ambillah dari kami untuk dirimu apapun yang engkau
inginkan, dan buatlah persyaratan untuk Tuhanmu, apapun yang engkau mau.
Sesungguhnya kami akan selalu ada di belakangmu…..!"
Abbas merasa puas dengan penjelasan
tersebut, dan membiarkan Nabi SAW dan penduduk Yatsrib menyusun
kesepakatan-kesepakatan yang dalam sejarah dikenal dengan nama Bai'atul Aqabah
kedua.
Ketika pecah perang Badar, Abbas masih
tinggal di Makkah, dan sesungguhnya ia menolak untuk ikut terlibat dalam
pasukan kafir Quraisy, tetapi Abu Jahal memaksanya sehingga ia tidak bisa
menghindar. Di Madinah, Nabi SAW
berpesan kepada para sahabat untuk tidak membunuh Abbas dan Abul Bakhtari bin
Hisyam, karena dua orang itu mengikuti pasukan tersebut dalam tekanan dan
keterpaksaan. Selama Nabi SAW di Makkah dahulu, mereka berdua tidak pernah ikut
menyakiti dan menyiksa beliau dan umat Islam lainnya, sebagaimana tokoh-tokoh
Quraisy lainnya. Bahkan mereka ini banyak sekali melakukan pembelaan kepada
Nabi SAW dan Islam, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Mengenai Abbas, bisa jadi Nabi SAW
melarang membunuhnya karena beliau mengetahui bahwa sebenarnya ia telah memeluk
Islam tetapi menyembunyikan keislamannya. Tetapi tentang keislamannya ini,
sebagian riwayat lagi menyebutkan, ketika Nabi SAW dalam perjalanan ke perang
Khaibar, Abbas menyusul rombongan pasukan dengan membawa harta kekayaannya
untuk memeluk Islam dan terlibat dalam pertempuran tersebut. Tetapi yang
riwayat yang pasti, Abbas terlibat langsung dalam perang Hunain, yakni setelah
Fathul Makkah. Saat posisi pasukan muslim terdesak dan kocar-kacir, ia ikut
memegang kendali keledai (baghal) Nabi SAW bersama Abu Sufyan bin Harits.
Pada Perang Hunain inilah pertama
kalinya kaum Quraisy bersatu, baik yang sudah muslim atau masih musyrik,
bersama kaum muslimin lainnya dari berbagai kabilah, bertempur menghadapi
persekutuan beberapa suku Arab yang tidak sudi mengakui eksistensi Islam.
Sebenarnya pasukan sekutu yang dimotori suku Hawazin dan suku Thaif itu
jumlahnya lebih kecil, tetapi mereka sempat memporak-porandakan pasukan
muslimin yang jumlahnya lebih besar. Memang, dengan jumlah yang lebih besar dan
persenjataan cukup lengkap, mereka merasa angkuh dan membanggakan diri akan
‘menggilas habis’ musuhnya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Dalam keadaan terdesak dan kritis
tersebut, Nabi SAW memerintahkan Abbas, yang memang mempunyai suara keras dan
lantang membahana, memanggil para sahabat. Abbas mengulang ucapan Nabi SAW,
“Manakah orang-orang yang berikrar di bawah pohon???”
Yang dimaksud Nabi SAW adalah para
sahabat yang termasuk dalam Bai’atul Ridwan, yakni ikrar kesetiaan kepada Nabi
SAW di bawah pohon di Hudaibiyah, ketika beliau mendengar kabar kalau Utsman
bin Affan yang menjadi utusan beliau kepada kaum Quraisy telah dibunuh.
Kebanyakan para sahabat itu memang dari kalangan Muhajirin dan Anshar awal (as
sabiqunal awwalun), yang keimanan dan semangat jihad mereka tidak diragukan
lagi.
Mendengar seruan Abbas itu, mereka
yang dimaksud menerobos kepungan, dan sedikit demi sedikit berkumpul di sekitar
Nabi SAW. Sekali lagi Nabi SAW memerintahkan Abbas menyeru, “Wahai sekalian
orang Anshar!!”
Suara lantang Abbas itu didengar para
sahabat Anshar yang terpecah-pecah pada berbagai titik pertempuran, dan makin
banyak saja kaum muslimin yang berkumpul di sekitar beliau, khususnya dari
kalangan Anshar. Setelah itu Nabi SAW turun dari baghal beliau dan mengambil
segenggam pasir, kemudian melontarkan ke arah musuh sambil bersabda, “Dari
sinilah peperangan akan berkobar kembali!!”
Seketika itu pasukan muslimin bergerak
maju menghadang serangan musuh dengan semangat menggapai syahid fi sabilillah,
yang pada akhirnya mampu mengalahkan pasukan sekutu tersebut. Suku Hawazin
banyak yang terbunuh dan tertawan, sedangkan Suku Tsaqif banyak yang melarikan
diri dan bersembunyi di benteng mereka di Thaif.
Ketika utusan Nabi SAW untuk berdakwah
ke Thaif, yakni Hanzhalah bin Rabi ditangkap dan dikurung oleh orang-orang Bani
Tsaqif, Nabi SAW menawarkan siapa di antara para sahabat yang bersedia
menyelamatkannya, dan pahalanya adalah seperti keluar ghuzwah (mengikuti suatu
pasukan untuk berjihad di jalan Allah). Tetapi beberapa waktu lamanya tidak ada
sahabat yang bangkit, akhirnya Abbas menyanggupi permintaan beliau. Dengan
suatu muslihat, Abbas berhasil menyelamatkan Hanzhalah dari cengkeraman
penduduk Thaif, walaupun mereka mengejar dan melemparinya dengan batu.
Pada masa khalifah Umar pernah terjadi
kemarau panjang sehingga Madinah dan negeri sekitarnya mengalami kekeringan.
Umar mengajak penduduk Madinah melakukan shalat istisqo’ (shalat minta hujan)
di lapangan sebagaimana pernah dilaksanakan Nabi SAW. Setelah selesai shalat,
Umar menarik Abbas ke sebelahnya dan mengangkat tangannya dan tangan Abbas
sambil berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan dengan
perantaraan Nabi-Mu pada saat beliau ada di antara kami. Ya Allah, sekarang ini
kami memohon dengan perantaraan paman Nabi-Mu, hendaklah Engkau turunkan hujan
untuk kami !!"
Belum lagi para jamaah meninggalkan
tempat shalatnya, datanglah awan tebal dan turun menjadi hujan di Madinah dan
sekitarnya sehingga memberikan kegembiraan pada penduduknya. Para sahabat
mendatangi Abbas, memeluk dan menciumnya tangannya sambil berkata,
"Selamat kami sampaikan kepada Anda, wahai penyedia air Haramain !!"
Haramain adalah dua tanah haram, yakni
Makkah dan Madinah. Dan sejak masa jahiliah Abbas memang bertugas memberi
minuman para jamaah haji yang berkunjung ke Makkah pada musim haji. Dan sebagai
penghargaan atas apa yang baru saja terjadi, yakni turunnya hujan di bumi
Madinah dengan perantaraannya sebagaimana doa yang dipanjatkan Umar, para
sahabat mengucapkan salam tersebut.
Suatu ketika di tahun 9 atau 10 dari
kenabian, Istri Abbas, yakni Ummu Fadhl yang saat itu telah memeluk Islam
tetapi menyembunyikan keislamannya, datang menemui Nabi SAW. Tiba-tiba beliau
bersabda, “Sesungguhnya engkau sedang mengandung, jika engkau telah melahirkan,
datanglah kepadaku dengan membawa anak itu!!”
Beberapa bulan kemudian Ummu Fadhl
melahirkan seorang anak lelaki, dan ia membawa putranya tersebut kepada Nabi
SAW. Maka beliau melantunkan adzan di telinga kanan bayi tersebut, dan iqamah
di telinga kirinya. Kemudian Rasulullah SAW meneteskan keringat beliau ke mulut
sang bayi dan bersabda kepada Ummu Fadhl, “Namakanlah anak ini Abdullah,
sekarang pulanglah engkau bersama bapaknya para khalifah!!”
Tanpa banyak pertanyaan Ummu Fadhl
pulang, dan ia menceritakan peristiwa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW
kepada suaminya. Maka Abbas segera berpakaian dan berangkat ke tempat kediaman
Rasulullah SAW, ia berkata, “Wahai Muhammad, apa yang engkau katakan (kepada
istriku) itu??”
Nabi SAW bersabda, “Seperti yang
diceritakan istrimu itu, dia adalah bapak dari para khalifah. Di antara mereka
ada yang disebut As Saffah, Al Mahdi, dan ada pula yang akan menjadi imam
shalat dari Isa bin Maryam!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar