Al-Mahdi
LATAR BELAKANG
Muhammad bin Mansur al-Mahdi (berkuasa 775–785) adalah khalifah ketiga Bani Abbasiyah. Ia menggantikan ayahnya al-Mansur.
Al-Mahdi, yang namanya berarti "Pemimpin yang Baik" atau "Penebus",
diangkat sebagai kholifah saat ayahnya di akhir hidupnya. Masa
pemerintahannya yang damai melanjutkan kebijakan para pendahulunya.
Pendekatan dengan Muslim Syi’ah
di dalam kekhilafahan terjadi di bawah pemerintahan al-Mahdi. Keluarga
Barmakid yang amat kuat, yang telah menasihati Kholifah sejak masa al-'Abbas
sebagai wazir, memperoleh kekuatan besar yang sama pada masa al-Mahdi,
dan bekerja dekat dengan kholifah untuk menjamin kemakmuran Daulah Bani
Abbasiyah.
Kota kosmopolitan Bagdad berkembang selama masa al-Mahdi. Kota itu menarik pendatang dari seluruh Arab, Irak, Suriah, Persia, dan daerah sejauh India dan Spanyol.
Bagdad merupakan tempat tinggal orang Kristen, Yahudi, Hindu, dan
Zoroastrianisme, di samping bertambahnya penduduk Muslim. Menjadi kota
terbesar dunia di luar Tiongkok.
Al-Mahdi melanjutkan mengembangkan administrasi Bani Abbasiyah,
menciptakan diwan baru, atau departemen, untuk ketentaraan, peradilan,
dan perpajakan. Qadi atau hakim diangkat, dan hukum terhadap non-Arab
dikeluarkan.
Keluarga Barmakid mengangkat pegawai ke departemen-departemen itu.
Orang-orang Barmakid, dari keturunan Persia, awalnya Buddha, namun
segera sebelum kedatangan orang-orang Arab, mereka telah masuk Zoroastrianisme. Warisan Islam umur pendeknya akan berlaku terhadap mereka selama masa Harun ar-Rasyid.
Orang-orang Barmakid memperkenalkan kertas dari India, yang belum digunakan di Barat – orang-orang Arab dan Persia menggunakan papirus,
dan orang-orang Eropa menggunakan kulit hewan. Industri kertas
bertambah di Bagdad di mana seluruh jalan di pusat kota menjadi tercurah
pada penjual kertas dan buku. Kemurahan dan daya tahan kertas amat berarti pada perkembangan tepat guna birokrasi Abbasiyah yang sedang berkembang.
Al-Mahdi memiliki dua kebijakan keagamaan yang penting: penghukuman terhadap zanadiqa, atau dualis, dan pernyataan ketaatan pada Islam.
Al-Mahdi mengkhususkan penghukuman terhadap zanadiqa untuk pendiriannya
pendiriannya di antara orang-orang Syi’ah yang murni, yang menginginkan
perlakuan yang lebih kuat pada kebid’ahan, dan menemukan penyebaran
kelompok politeis muslim sinkretis terutama yang jahat. Al-Mahdi
menyatakan bahwa kholifah memiliki kemampuan – dan sungguh-sungguh,
tanggung jawab – mendefinisikan ketaatan seorang Muslim, agar melindungi
umat terhadap bid’ah. Walau al-Mahdi tak membuat penggunaan besarnya,
kekuatan baru, akan menjadi penting selama krisis mihna dari masa
al-Ma'mun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar