Akibat dari kebijaksanaan yang
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan
politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman
penguasa Bani Abbas, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang
dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Faktor-faktor penting yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah
memerdekakan diri, adalah:
1. Luasnya
wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah
sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuangan
negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat
besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman
pajak ke Baghdad.
Disintegrasi dalam bidang
politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi
berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan
antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah
kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya,
sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya
benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini
tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang
bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam
kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah
itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan.
Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayaran pajak.
Menurut Ibnu Khaldun, sebenarnya
keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan.
Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki
kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional
di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru
seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam
perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah.
Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul
fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u
arabiyah (kebangsaan/anti Arab).
Gerakan inilah yang banyak
memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan
keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari
fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan
dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya
ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan
ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan
keagamaan itu.
Masa disintegrasi ini terjadi
setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya,
pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang
politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup
mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti
Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima.
Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu
dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di
antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para
khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang
Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang
berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru
dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam
periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.
Namun, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di
bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode
pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta.
Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak
hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran,
pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat.
diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri
dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain
disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis
pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik
yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya,
kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah
kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Munculnya aliran-aliran sesat dan fanatisme kesukuan.
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan
kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan
Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda
rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan
Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan
orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan
tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah
contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya
banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang
dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah
sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang
berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik
yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya,
memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya,
al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah
"menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam
khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah
yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas
pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja,
tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional
dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua
golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah
(813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah
dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak
tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh
tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para
salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai
dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Serangan Bangsa Mongol dan Jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang
berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah
Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258),
betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara
Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah
Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la
mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian
damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn
Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin
posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama
beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah
berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu
dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul
oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang
terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa
yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir
sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah
kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan
tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut.
Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad
selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa
Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi
juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena
Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan
khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan
Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Baca juga Kisah Ma'mun Ar-Rasyid
SUMBER :
AS-SUYUTHI, Imam; TARIKH KHULAFA`, Sejarah Para Penguasa Islam. Jakarta: AL-KAUTSAR, 2006. ISBN 979-592-175-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar